You are currently viewing Selamat Jalan KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah)
gus sholah

Selamat Jalan KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah)

Senin, 3 Februari 2020/ 10 Jumadil Akhir 1441 H

Genealogi Nahdhatul Ulama

Bangsa Indonesia kembali berduka, khususnya ummat Islam terlebih keluarga besar Nahdlatul ‘Ulama. Ahad kemarin Kiyai Haji Sholahudin Wahid yang akrab disapa Gus Sholah wafat di usia 77 tahun. Putra ketiga dari pahlawan nasional KH Wahid Hasyim ini meninggal ketika NU memperingati Hari Kelahirannya yang ke-94. Semoga Allah SWT menempatkan beliau di tempat terindah sebagai husnul khotimah dari golongan para ulama yang jujur dalam berjuang mendakwahkan Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamiin.

KH Sholahudin Wahid bisa disebut “Bernasab” Nahdlatul ‘Ulama, karena jika merunut perjalanan sejarah, tokoh, dan khazanah pesantren sebagai basis intelektual kaum Nahdliyin, kebesaran Nahdlatul Ulama memang tidak dapat dipisahkan dari kebesaran pendirinya, kakek dari almarhum Gus Sholah, yaitu KH Hasyim Asy’ari. Ulama yang dengan susah payah merintis dan membangun organisasi sehingga sampai saat ini bisa eksis dalam mendidik dan membangun umat, terutama di kalangan Nahdhiyin.

Sejarah telah mencatat dengan tinta emas peran dan kiprah Nahdlatul ‘Ulama di negeri ini. Perkembangan dan kemajuan organisasi tersebut semenjak didirikan sampai saat ini mengalami pasang surut. Namun demikian peran dan kiprah ulama dan tokoh-tokoh NU tidak bisa dikesampingkan. Mereka turut serta memperjuangkan dan membesarkan Indonesia termasuk dalam dunia politik. Harlah NU ke-94 yang diperingati beberapa hari yang lalu, menjadi momentum untuk kita kembali merawat ingatan atas kiprahnya membangun bangsa.

Nahdlatul ‘Ulama adalah organisasi keagamaan sekaligus organisasi kemasyarakatan terbesar dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia. Kehadiran NU mempunyai makna penting dan turut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, NU ikut memberi saham terbesar bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Prof. Ahmad Mansur Suryanegara hal ini dapat dilihat dari dua aspek perjuangan NU, kultural dan struktural.

Mengenai aspek kultural, dapat dilihat dari latar belakang perjuangan ulama-ulama yang gigih menentang kehadiran Belanda di dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Penjajahan Belanda atas bumi pertiwi menjadi alasan utama penentangan tersebut. Di pulau Jawa, catatan panjang sejarah akan menyebutkan pola-pola pergerakan ulama yang terlibat di dalam berbagai perebutan wilayah yang hendak dianeksasi Belanda, seperti pemberontakan petani Banten, perang Kedondong Cirebon, pun perang besar Pangeran Dipanegara yang berhasil membuat VOC bangkrut.

Genealogi (nasab) sejarah perlawanan ulama terhadap penjajah Belanda yang menududuki tanah air jelas terjadi secara turun temurun dengan cikal yang tumbuh dari masa sebelumnya. Terutama, relasi ulama dan pemerintah. Genealogi tersebut termaktub di dalam pandangan dan garis (khittah) perjuangan NU yang Muqoddimah-nya ditulis langsung oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari.

Muqoddimah tersebut menjadi pokok perjuangan NU di dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran para ulama pewaris Nabi Muhammad SAW secara turun temurun di Nusantara. Ajaran atau pokok pikiran Nahdlatul Ulama tersebut menyebutkan sebagai organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagai wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam ‘ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Sementara aspek struktural, kita telaah bagaimana metode dan sistem yang diajarkan NU berpegang pada mazhab. Berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali. Di bidang aqidah, NU berpegang pada metode dan sistem pemahaman Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, serta mengikuti metode dan sistem pemahaman yang dipelopori oleh Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali di bidang tasawuf.

Dengan demikian, metode dan sistematika ajaran atau pokok pikiran NU telah ditegaskan oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari secara tertulis di dalam Muqoddimah Qonun Asasi NU. Hal tersebut dilandasi dari realitas sosial masyarakat Nusantara yang telah mengamalkan ajaran-ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah secara turun temurun dari generasi ke generasi, sebagaimana masa-masa kerajaan pra kemerdekaan NKRI yang telah terlebih dahulu menerapkannya di dalam tata pemerintahan yang berpegang ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Sebagai entitas dunia dengan Aswaja-nya, Nahdlatul Ulama mesti dipahami dengan melacak akar tradisi sosial keagamaan sebagai manifestasi ajarannya dan sejarah pembentukan tradisi santri Nusantara yang sangat kaya. Jangan hanya dilihat dinamika pasang surut, ketegangan, dan rekonsiliasinya dalam perpolitikan indonesia masa lalu dan masa kini. Semoga jejak perjuangan NU dalam mewarnai bangsa dan negara hingga sekarang dapat menjadi letupan energi positif bagi kemajuan dan kesejahteraan sosial bangsa Indonesia.

Wallahu ‘Alam Bish Showwab

Dikutip dari : Tajuk Rasil
www.rasilnews.com