Merebaknya kasus-kasus Virus Corona ke beberapa negara menyebabkan banyak terjadi gejala sosial. Kepanikan sosial melanda di banyak sudut dunia tak terkecuali masyarakat Indonesia. Di Apotik dan pasar-pasar Tradisional di penuhi antrian panjang masyarakat untuk memborong barang-barang kebutuhan mereka. Tempo hari di Pasar Tradisional,seorang ibu menghampiri saya, ia begitu kecewa ketika tahu bahwa barang yang akan dibelinya tidak ada di pasar. Lalu ia melihat daftar kebutuhan sehari-hari yang sudah di catatnya pada selembar kertas ternyata masih banyak yang belum dibeli, padahal pada ke dua tangannya sudah terdapat beberapa jinjingan barang belanjaan untuk stok dan persediaan beberapa hari ke depan.
Gencarnya pemberitaan di media-media menyebabkan kepanikan di masyarakat terutama para ibu seolah mereka harus berlomba membeli kebutuhan rumah tangga seperti bahan makanan. Banyak barang-barang di pasar mengalami kelangkaan stok dan lonjakan harga menjadi berkali-kali lipat. Kepanikan ditimbulkan dari rasa takut yang berlebihan dan menyebabkan tindakan yang dilakukan menjadi tidak rasional. Menurut Steven Taylor seorang dosen dan Psikolog Klinis di University of British of Columbia, dan penulis buku The Psychology of Pandemics mengatakan bahwa panic buying di dorong oleh ketakutan dan keinginan untuk berusaha keras memadamkan ketakutan itu,seperti antrian berjam-jam atau membeli lebih banyak dari yang Anda butuhkan. Panic buying juga mendapat tempat lebih di media sosial dan erita televisi hal itu meningkatkan khawatir kehabisan yang memperburuk panic buying. Beberapa ilmuwan berpikir bahwa panic buying adalah keadaan subjektif emosional dan sebagian besar yang dapat diamati adalah perilaku.
Terkait panic buying banyak faktor dari penyebaran virus corona ini yang membuat seseorang menjadi kehilangan kontrol, konsumen akan menggantikannya dengan membeli barang-barang berguna yang didesain untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di sisi lain, orang-orang yang melakukan panic buying mungkin terlihat tidak rasional dengan memborong berdus-dus mi instan, berkarung-karung beras hingga berkantung-kantung tisu toilet yang sebenarnya tak ada gunanya untuk menangkal virus corona. Neurosains menjelaskan bahwa ketika kita merasa terancam, amygdala atau bagian otak yang memproses rasa takut dan emosi menjadi kelewat aktif dan berakibat pada matinya proses berfikir rasional. Alhasil, seseorang menjadi kurang berfikir rasional dan mudah terpengaruh oleh pola pikir kelompok atau memunculkan mentalitas gerombolan. Ini juga yang membuat seseorang menjadi rentan melakukan salah penilaian.
Salah satu hal terbaik yang dapat dilakukan untuk menghentikan pembelian barang secara berlebihan adalah membuat pikiran kita tetap tenang, tetap berada diatas tingkat kecemasan, sehingga kita bisa berfikir lebih rasional. Kita perlu berbelanja dengan cara cerdas, yaitu dengan memperhitungkan kebutuhan prioritas. Belilah keperluan yang memang sangat dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk orang atau keluarga selama waktu tertentu yang rasional dan sesuai kemampuan. Pada saat tubuh kesulitan untuk berfikir rasional, maka kita harus memaksa tubuh untuk mengurangi rasa stres. Caranya dengan bernafas perlahan-lahan dan berolahraga. Dengan demikian kita akan bisa berfikir lebih jernih. Selain itu pemerintah dan media massa dapat ikut berperan dalam himbauan untuk “tidak panik” kepada seluruh masyarakat dengan dibarengi pasokan bahan pokok yang cukup terutama pada pemerataan distribusi dan peredaman kenaikan harga.
Semoga saja wabah virus corona ini segera berakhir. Tak ada satu kekuatan pun dimuka bumi ini yang mengalahkan kekuatan Allah SWT dan tak ada yang dapat menembus kekuatan itu selain Doa karena Rahmat dan Kasih Sayang Allah kepada hambanya lebih besar daripada Murkanya.