You are currently viewing Kesan dan Pesan Gus Sholah
KH Salahudin Wahid

Kesan dan Pesan Gus Sholah

Selasa, 4 Februari 2020/ 10 Jumadil Akhir 1441 H

Ucapan belasungkawa dan doa sudah banyak mengalir untuk Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, K.H. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) yang meninggal dunia Ahad 2 Februari lalu. Almarhum memiliki sejumlah jasa yang sangat bermanfaat untuk masyarakat Indonesia, dan dikenang para kerabatnya.

Baner PPDB Pesantren Modern SMPIT-SMAIT Insan Mandiri Cibubur

Salahuddin Al-Ayyubi, adalah sosok pahlawan Islam pembebas Baitul Maqdis yang menjadi inspirasi sang ayah, K.H. Wahid Hasyim, untuk memberi nama anak ketiganya, Salahuddin Wahid. Sang anak lahir pada 11 September 1942 di Denanyar, Jombang. Berselisih tiga tahun dari kakak pertamanya: Abdurrahman Ad-Dakhil.
Sang kakak, yang kelak populer di publik bersapa “Gus Dur” memang lebih terkenal.

Kendati tampak tak begitu se-“wah” Gus Dur dalam soal wacana intelektual, Gus Sholah punya tempat sendiri di tengah umat. Masing-masing memiliki kelebihan ataupun kekhasan. Bisa dikata juga: saling menambal keterbatasan antar-saudara. Hanya saja, serupa sang kakak, produktivitas Gus Sholah menulis bukanlah lantaran mendompleng jejak sang kakak. Kadar kesungguhan ayah mereka, Kiai Wahid Hasjim, dalam menanamkan tradisi intelektual ternyata sedari dini.

Ummat pun bangga akan kiprah beliau, beberapa di antaranya ialah kiprah Gus Sholah dalam memberantas korupsi di tanah air. Jasanya dalam memberantas korupsi dituturkan Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Yudi Purnomo Harahap yang selalu ingat sosok Gus Sholah yang telah menggagas Deklarasi Tebuireng pada 2017. Deklarasi ini mengajak pemimpin lintas agama melawan budaya korupsi.

Deklarasi Tebuireng adalah pertemuan yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh KH Salahuddin Wahid, mereka menyerukan perlawanan terhadap budaya korupsi melalui Maklumat Kebangsaan Tebuireng. Dalam maklumatnya, para tokoh lintas agama menyatakan memahami bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi bukan tanpa kekurangan atau kesalahan. Karena itu, berbagai kritik (terhadap KPK) harus mendapat perhatian serius.

Ketika itu Gus Sholah menekankan KPK harus bertekad untuk memperbaiki diri supaya dapat menjadi lembaga yang makin dipercaya dan makin bertanggung jawab. Hampir semua pejabat negara sudah tidak merasa bersalah untuk korupsi karena sifat rakus dan ingin cepat kaya sudah merata. Mereka tidak malu karena banyak sekali pejabat negara yang korupsi. Mereka tidak takut kepada Allah, karena yang mereka takutkan hanyalah dimiskinkan.

Ikhwan Akhwat,,,
Dalam wawancara terakhir yang dilakukan Republika bersama Gus Sholah. Beliau menyampaikan pesan-pesan khususnya untuk warga Nahdliyin dan Jam’iyah NU. Menurut beliau, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dapat terus meningkatkan kemampuan terutama dalam mengelola organisasi. Dengan begitu, NU menjadi lebih mandiri. Kelemahan NU justru di organisasi. Itu yang harus diperbaiki. Harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis. NU harus konsisten pada posisinya di dalam masyarakat sipil.

Dalam hal ini, beliau mengingatkan kembali utamanya warga Nahdliyin tentang Khittah 1926. Wacana khittah menguat dalam Musyawarah Nasional (Munas) NU pada 18-21 Desember 1983 silam di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Ratusan alim ulama NU mencapai kesepakatan untuk kembali ke prinsip yang dibuat sejak lahirnya NU pada 1926.

Mengutip buku KHR As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, ungkapan “kembali pada khittah” berarti mengembalikan NU ke garis dan landasan perjuangan asalnya. Peran Kiai As’ad saat itu penting dalam membulatkan keputusan tersebut, yakni keinginan agar NU yang sebelumnya terabik-cabik banyak kepentingan sesaat—terutama sejak menjadi sebuah partai politik—dapat pulih seperti sedia kala.

Berkaca dari sejarah masa silam, Gus Sholah berpesan agar NU tidak terseret arus politik praktis. Bagi beliau, keputusan Muktamar NU 1983 adalah sesuatu yang patut disyukuri. NU pun harus dipimpin sosok-sosok yang berintegritas. Dalam arti, mereka yang tidak semata-mata berpikir politis, tetapi juga memiliki kemampuan berorganisasi. Beliau berharap, ke depannya Jam’iyah NU bisa lebih fokus untuk mengembangkan berbagai amal usaha.

Mengutip hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2013 lalu, populasi warga Nahdliyin diperkirakan mencapai 91,2 juta orang. Angka itu meliputi sekitar 36,5 persen dari total 249,9 juta jiwa penduduk Indonesia. Tentunya, jumlah tersebut terus berkembang sampai saat ini sehingga menjadi modal besar untuk menggerakkan ekonomi berbasis kewirausahawan.

Wallahu ‘Alam Bish Showwab

dikutip dari : Tajuk Rasil
www.rasilnews.com